Minggu, 15 November 2009

BLT dari Utang? Mendongkrak Citra Melalui Utang Luar Negeri

JAKARTA - Ide bantuan langsung tunai (BLT) muncul ketika pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). BLT saat itu dianggap sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin akibat peningkatan harga sejumlah komoditas terkait kenaikan BBM. Dana yang digelontorkan program BLT menyedot anggaran Rp 17 triliun (2005) dan Rp 14,1 triliun (2008). Cakupan penyebaran sebanyak 19,1 juta keluarga miskin di seluruh Indonesia.
Program tersebut kemudian dianggap berhasil. Partai Demokrat (PD), yang merupakan partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun "menjual" program tersebut di masa kampanye Pemilu Legislatif. Efektivitas BLT dalam mendongkrat suara PD, karena uang tunai tersebut disalurkan kepada rakyat miskin yang umumnya swing voter. PD dalam Pemilu
Legislatif meraih 21.703.137 suara.
Pengaruh BLT pada pilihan politik masyarakat diakui sosiolig Universitas Indonesia (UI) Musni Umar. Menurutnya, BLT cukup efektif mendongkrak elektabilitas PD dan SBY. Musni juga menduga pernyatan cawapres Boediono yang akan melanjutkan bagi-bagi uang lewat BLT merupakan upaya merebut simpati rakyat di pilpres. "Itu sangat mungkin. Karena BLT terbukti efektif meraih simpati rakyat kalangan bawah," ujarnya belum lama ini.
Hanya saja, belakangan sumber dana BLT dipersoalkan sejumlah kalangan. Soalnya dananya berasal dari pinjaman komersial dari luar negeri. Menurut Ketua BPK Anwar Nasution, bunganya mencapai 12%-13%. Sumber dana BLT yang berasal dari utang dinilai sejumlah kalangan sebagai upaya menjebak masyarakat. Pemerintah dianggap berupaya menenangkan masyarakat akibat kenaikan BBM, tapi akibat buruknya akan dirasakan masyarakat ke depan.
Soal peningkatan utang di pemerintahan SBY juga diakui pengamat politik Tjipta Lesmana. Menurutnya, dalam pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), setiap tahun negara menambah hutan Rp 100 trilun. Sehingga selama 4 tahun pemerintahan
tercatat utang RI mengalami penambahan Rp 400 triliun. Tjipta mengamini kalau BLT merupakan salah satu faktor bertambahnya utang tersebut. Sebab anggaran tersebut bukan untuk investasi melainkan bagi-bagi uang semata. Akibatnya, ke depan pemerintah harus membayar utang tersebut berikut bunganya.

Citra Melorot

Kabar dana BLT berasal dari utang bukan tidak mungkin bisa membuat citra pasangan SBY-Boediono melorot. Apalagi BLT pada kampanye Pileg yang lalu, sempat menjadi jualan Partai Demokrat (PD). Kubu SBY kemudian menunjuk Chatib Basri, pengamat ekonomi yang kini jadi tim ekonomi SBY-Boediono. Pria berkacamata ini kemudian membantah kalau sumber dana BLT berasal dari utang negara BLT, melainkan dari alokasi subsidi BBM.
Untuk memastikan BLT bukan berasal dari utang negara, Chatib kemudian menyarankan agar mengecek pada daftar Development Policy Loan. Besarnya BLT yang diperoleh dari subsidi BBM itu, terang Chatib, sebesar Rp 14,1 triliun yang diberikan kepada 19,1 juta kepala keluarga miskin.
Namun keterangan Chatib tidak lantas diterima sejumlah kalangan. Direktur Central Banking Crisis (CBC) Deni Danuri mengatakan, pernyataan Chatib soal BLT berasal dari alokasi subsidi BBM hanyalah istilah rekayasa APBN saja. Sebab kenyataannya, kata Deni, anggaran untuk BLT itu diambil dari APBN, yang merupakan hasil pinjaman luar negeri maupun Surat Utang Negara (SUN).
Akibatnya beban APBN pun menjadi semakin berat. "BLT adalah salah satu penyebab defisitnya APBN. Karena BLT dibiayai dari pinjaman dan SUN dengan bunga yang tinggi. Sehingga memperberat APBN," jelas Deni. Ironisnya, utang untuk pembiayaan BLT termasuk utang komersial karena bunganya mencapai 12%-13%. Bukan pinjaman lunak dari lembaga internasional, yang rata-rata bunganya hanya sekitar 4%-6%.
Sekjen Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan juga sepakat dengan Deni. Menurut Yuna, dari hasil pembicaraan Fitra dengan Panitia Anggaran DPR, terungkap kalau dana BLT itu berasal dari utang luar negeri. "Jadi mau tidak mau negara harus bayar utang dalam jangka waktu panjang dengan bunga yang tidak sedikit. Ini namanya mengatasi masalah dengan memunculkan masalah baru," tegas Yuna.
Yuna berpendapat, seharusnya dana BLT diambil dari anggaran stimulus fiskal yang telah ditetapkan pemerintah untuk mengatasi kebijakan menaikan harga BBM. Tapi kenyataannya dana stimulus yang dikeluarkan pemerintah tahun 2009 saja, justru 80% diambil orang kaya ketimbang rakyat miskin.
Yuna memaparkan, tahun 2009 pemerintah telah mengalokasikan dana Rp 71,3 triliyun untuk stimulus fiskal. Namun mayoritas anggaran justru untuk kepentingan para pemilik modal, seperti penurunan pajak PPh Badan dan Pribadi dan subsidi Pajak barang Mewah dan dunia usaha.
Alhasil, dana untuk rakyat miskin melalui BLT hanya dialokasikan Rp 14,1 triliun. Dari anggaran tersebut yang disalurkan ke 19,1 juta keluarga miskin Rp l3,370 triliun. Adapun sisanya, sebesar Rp 806 miliar dipakai untuk biaya penyaluran, yaitu Departemen Sosial, Bappenas, Kementerian Kesejahteraan Rakyat, PT Pos, dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Sementara pakar ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Revrisond Baswir, sejatinya BLT itu diadakan pemerintah untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM tahun 2005 silam. Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM itu diatur dalam Inpres Nomor 12 Tahun 2005, yang dikeluarkan pada 10 September 2005.Tapi kenyataannya, ujar Revrisond, sekalipun BBM sudah mengalami penurunan sebanyak 3 kali pada pertengahan 2008, BLT tetap saja disalurkan.
"Penyaluran BLT di saat pemerintah sudah menurunkan harga BBM jelas melanggar Inpres. Jadi wajar kalau banyak yang mencurigai pembagian BLT punya muatan politik. Terutama untuk mendongkrak citra SBY," pungkas Revrisond. (Art/Ric)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar