Sabtu, 05 Desember 2009

Catatan Khusus Ed.37: Kepada Siapa Presiden Berpihak?

Kisruh di ranah hukum yang merembet ke ranah politik di tanah air akibat menyeruaknya dugaan rekayasa kasus dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibid Samat Rianto dan Chandra M Hamzah, oleh oknum petinggi Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah hampir sebulan menyedot perhatian khalayak luas. Kini tak cuma Polri dan Kejagung yang menjadi sasaran kecaman, DPR juga dituding kalangan LSM, NGO dan tokoh-tokoh nasional lebih mirip corong Polri-Kejagung, bahkan tak bernyali untuk bertindak tegas dalam menyikapi dugaan rekayasa kasus dua pimpinan KPK. Muncul pertanyaan, ada apa dibalik sikap pasif DPR?
Padahal Presiden Yudhoyono sudah mengakomodir aspirasi mayoritas rakyat di negeri ini, dengan membentuk Tim Pencari Fakta (tim 8) guna menguak kebenaran atas dugaan adanya rekayasa dalam kasus Bibid-Chandra yang dijerat Polri dengan sangkaan penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan terhadap pengusaha Djoko S Tjnadra dan pemerasan terhadap pengusaha yang juga tersangka kasus korupsi proyek pengadaan Radio Kehutanan, Anggoro Wijoyo. Namun publik merasa belum puas, karena Polri dan Kejagung dianggap mengabaikan rekomendasi tim 8 bentukan Presiden yang notabene atasan dari Kapolri dan Jaksa Agung.
Rekomendasi tim 8 agar Kapolri mencopot Kepala Bareskrim Komjen Susno Duaji tidak dihiraukan, demikian pula dengan Jaksa Agung yang hanya diam. Namun Jaksa Agung beruntung karena Wakil Jaksa Agung M Ritonga yang berbicara dan namanya disebut dalam rekaman pembicaraan Anggodo hasil sadapan pihak KPK, cepat-cepat mengundurkan diri. Tak cuma itu, dengan lantangnya Kapolri dan Jaksa Agung di depan Komisi III DPR bertekad akan melanjutkan kasus Bibid-Chandra ke pengadilan karena memiliki bukti yang sangat kuat.
Sikap Kapolri dan Jaksa Agung yang terkesan tambeng (keras kepala) tak pelak menyulut kegeraman publik. Kedua petinggi instansi hukum tersebut dinilai arogan, lantaran Presiden sendiri sebagai atasan langsung belum mengambil keputusan. Publik pun merasa heran, mengapa Kapolri dan Jaksa Agung terkesan sangat berani dan nekat, membuat keputusan yang bertentangan dengan aspirasi publik. Tah heran, citra kedua sosok yang sempat sangat disegani karena prestasinya itu merosot tajam, bahkan tak sedikit yang mendesak keduanya mundur dari jabatannya.
Citra Polri juga kian terjerembab setelah mantan Kapolres Jakarta Barat Kombes Wiliardi Wizar memberikan kesaksian bahwa dirinya dipaksa oleh sejumlah petinggi Mabes Polri untuk bersaksi 'menghancurkan' mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan Direktur BUMN Rajawali Nusantara Nasrudin Zulkarnaen. Alhasil, publik nyaris tidak mempercayai lagi kinerja Polri dalam upaya menegakan hukum, terlebih dalam kasus pimpinan KPK.
Kini Tim 8 yang diketuai Adnan Buyung Nasution telah menyelesaikan tugasnya mengungkap fakta-fakta dibalik kasus Bibid-Chandra, dan hasil kerjanya dilaporkan ke Presiden sepulang dari kegiatan Asian Summit di Singapura, Selasa (17/11) ini. Publik kini menantikan keputusan Presiden SBY yang concern terhadap pemberantasan korupsi. Hampir seluruh tokoh dari kalangan akademisi, praktisi hukum dan ormas keagamaan serta tokoh politik menyerukan agar kasus Bibid-Chandra dihentikan karena bukti-bukti yang ada sangat tidak kuat. Bahkan, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pun menyarankan Presiden agar memberikan abolisi kepada Bibid-Chandra. Nah, kini berpulang pada Presiden, kepada siapakah berpihak? (Rico Pasaribu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar