Sabtu, 05 Desember 2009

Penegakan Hukum dan Pers Jadi Pilar Perdamaian

PONTIANAK - Perdamaian dalam masyarakat yang plural tidak hanya mensyaratkan toleransi. Dibutuhkan pula penegakan hukum yang tegas dan konsisten serta peranan pers melalui jurnalisme profesional yang bisa mendorong terwujudnya suasana damai di tengah masyarakat.
Demikian mengemuka dalam Seminar Kebangsaan bertajuk 'Bhinneka Tunggal Ika: Kesatuan Dalam Keberagaman dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia', Sabtu (28/11) lalu di Pontianak. Seminar diselengggarakan Center for Research & Inter-religius Dialogue (CRID) yang bekerja sama dengan Putut Prabantoro Associates dan Clara Niken Fashion Spot.
Hadir sebagai pembicara Untung Sidupa Ketua World Vision Indonesia (WVI) Regio Kalimantan, mantan Wakil Kepala Staf TNI AD yang kini menjabat Komisaris Kelompok Usaha Artha Graha Grup, Letjend Purn Kiki Syahnakrie, Wali Kota Singkawang Hasan Karman, Asisten Jenderal Ordo Dominikan Bidang Komunikasi Pastor Scott Steirkerchner.
Menurut Hasan, pada dasarnya semua agama mengajarkan pluralisme dan perdamaian. Konflik bernuansa agama muncul karena ada pihak-pihak yang mempolitisasi agama untuk mencapai kepentinganny a sendiri. Senada dengan Hasan, Kiki menyatakan, pluralisme merupakan fitrah atau pemberian dari Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, kebhinekaan Indonesia harus disyukuri dan bahkan dijadikan kekuatan untuk membangun bangsa.
Dari pengalaman Hasan sebagai warga etnis Tionghoa yang maju dalam pemilihan kepala daerah, konflik bisa dicegah manakala ia memilih tidak meladeni pihak yang mengajak berkonflik. Pada saat bersamaan, ia membiarkan hukum bertindak menyelesaikan konflik tersebut.
Di sisi lain, Hasan menyatakan, pers juga memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan perdamaian. "Pers yang bebas dan bertanggung jawab tidak sepatutnya memunculkan isu yang berpotensi memunculkan konflik antar kelompok dan golongan," katanya.
Pada kesempatan itu, WVI sebagai lembaga kemanusiaan umat Kristiani yang berfokus pada anak, membagikan pengalamannya yang 'dicurigai melakukan kristenisasi' saat memfasilitasi program untuk anak. "Butuh waktu dan konsistensi sehingga kami bisa diterima masyarakat. Mereka pada akhirnya yakin bahwa pelayanan kami benar-benar berorientasi pada anak, tanpa mempersoalkan agama," kata Untung. (Art)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar