Sabtu, 05 Desember 2009

Polri Dituding Hendak Mengkriminalisasi Pers

JAKARTA - Langkah Kepolisian RI (Polri) memanggil dua media cetak, Kompas dan Seputar Indonesia, terus menuai kecaman berbagai kalangan. Tindakan ini dinilai sebagai upaya mengkriminalisasi pers. Keterangan yang disampaikan juga berbeda-beda. Pihak Sindo mengaku dipanggil sebagai saksi atas laporan Anggodo yang merasa dicemarkan nama baiknya melalui pemberitaan. Sementara pihak Mabes Polri melalui Kadiv Humas Nanan Soekarna, mengatakan pemanggilan karena polisi ingin memperkuat bukti menjerat Anggodo.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana pun turut mempertanyakan langkah penyidik Polri. Menurutnya, jika hendak menjerat Anggodo terkait rekaman penyadapan KPK yang diperdengarkan di sidang MK, seharusnya bukan media yang dimintakan keterangan. "Kalau mau dapat detail rekaman Anggodo, seharusnya yang dipanggil adalah MK atau KPK, tidak Kompas atau Sindo," ujar Denny dalam sebuah diskusi di stasiun radio swasta di Jakarta, Sabtu (21/11) lalu. Sikap kepolisian ini membuat situasi yang terjadi tidak menjadi lebih reda. "Memang, situasinya tidak lebih cool karena ada wacana kriminalisasi pers," kata Denny.
Sementara Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara mengatakan, pemanggilan dua pimpinan media massa terkait pengaduan Anggodo Widjojo tidak tepat, karena media hanya bersifat menyampaikan informasi, termasuk dalam kasus itu. "Dua media, yakni Kompas dan Seputar Indonesia justru dipanggil kepolisian untuk dimintai keterangan, karena pengaduan dari Anggodo. Ini hal menyedihkan," katanya di Hotel Metro Semarang, Sabtu (21/11).
Menurut dia, media selama ini hanya berperan sebagai panggung atau cermin yang menyampaikan fakta yang ada, sehingga ketika fakta yang disampaikan tidak sesuai yang diharapkan oleh pihak yang terlihat dalam cermin (media), jangan menyalahkan cerminnya. Terlebih lagi, kata Leo, sebenarnya tidak hanya dua media massa itu yang memuat atau menyiarkan rekaman percakapan telepon yang dilakukan oleh Anggodo dengan beberapa pihak, dan rekaman itu sebelumnya juga telah diputar di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam kaitan itu, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Novel Ali, juga menyesalkan tindakan kepolisian terkait pemanggilan dua media tersebut. Sebab, hal itu justru mengakibatkan kesenjangan hubungan antara kepolisian dengan kalangan media. "Dalam konteks apa pemanggilan itu, kalau mereka (media) melakukan kesalahan, seperti delik pidana, maka pemanggilan itu tepat. Namun kalau berkaitan dengan pemberitaan, biarlah diselesaikan secara internal. Kan ada juga Dewan Pers," kata Novel Ali.
Dia mengatakan, pemanggilan dua media tersebut juga tidak tepat dilakukan dalam situasi seperti saat ini. Sebab, opini publik yang berkembang di masyarakat menginginkan agar Anggodo secepatnya diproses, dan dalam situasi seperti ini tidak boleh ada penekanan-penekanan. Berkaitan dengan pemanggilan dua media tersebut, kepolisian memang memiliki wewenang seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, "Tapi, kepolisian juga harus mempertimbangkan tindakan yang dilakukan. Sebab, pemanggilan dua media itu sebenarnya tidak perlu dilakukan, karena yang rugi adalah Polri sendiri".
Sementara itu, tiga organisasi wartawan/jurnalis Indonesia, Jumat (20/11) lalu, mengeluarkan pernyataan sikap bersama berkait dengan pemanggilan pimpinan media massa oleh Mabes Polri. Dalam siaran persnya, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menegaskan pemanggilan pimpinan Kompas dan Seputar Indonesia itu tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.
Berdasarkan pernyataan sikap yang mengatasnamakan Ketua Umum PWI Pusat Margiono, Ketua Umum AJI Nezar Patria, dan Ketua Umum IJTI Imam Wahyudi itu, mereka juga mengingatkan bahwa wartawan dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum mempunyai hak tolak. Hak untuk melindungi narasumber berita itu diatur dalan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Selain melindungi jati diri narasumber, hak tolak itu juga dimaksudkan untuk melindungi kredibilitas pekerjaan jurnalistik dan integritas jurnalisnya. Juga diingatkan bahwa dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai jurnalis, wartawan mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Kecaman juga datang dari Sekretaris Jenderal PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Zaini Shofari. Atas nama organisasinya, ia menyatakan, atas nama demokrasi para penguasa harus segera menghentikan berbagai bentuk intimidasi kepada pers. "Sebagai pilar ke empat demokrasi, sejatinya pers itu harus dilindungi. Tapi ironisnya, kian banyak saja insan pers jadi korban akibat intimidasi kekuasaan yang manipulatif," kata Zaini.
Dia menunjuk kasus terakhir berupa tewasnya seorang reporter dari koran Radar Bali di Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. "Peristiwa itu masih begitu hangat, tiba-tiba Mabes Polri melakukan tindakan ceroboh berupa pemanggilan wartawan Kompas dan Seputar Indonesia untuk sesuatu urusan yang tidak jelas substansinya," katanya.
Bagi PB PMII, menurutnya, tindakan Mabes Polri itu semakin merusak citra kepolisian yang terkesan tidak profesional. "Jika berkait dengan transkrip rekaman yang telah dibuka pada Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), maka solusinya adalah hak jawab. Kok sepertinya para petinggi tak mengerti hukum dengan memanggil wartawan, tidak menggunakan hak jawab itu," ujarnya. (Dav/John)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar