Senin, 08 Februari 2010

100 Hari SBY, Tanpa Agenda Antikorupsi

100 Hari SBY, Tanpa Agenda Antikorupsi
JAKARTA - Transparency International Indonesia (TII) menilai agenda pemberantasan korupsi menurun di masa periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemberantasan korupsi tak muncul menjadi pilihan utama dalam Program 100 Hari. Pemberantasan korupsi diminimalisasi dalam pemberantasan mafia hukum. Ini merupakan kemunduran dari era pemerintahan Presiden SBY sebelumnya, yang memasukkan isu pemberantasan korupsi sebagai program utama pemerintah.
"Patut disayangkan dari 15 program unggulan dalam 100 hari pertama pemerintahan KIB II tidak secara eksplisit menjadikan pemberantasan korupsi sebagai pilihan utama," ujar TII dalam rilis yang diteken Ketua Dewan Pengurus Todung Mulya Lubis dan Sekretaris Jenderal Teten Masduki itu, akhir pekan lalu.
TII menambahkan, semestinya dalam 100 hari pertama KIB II dapat menunjukkan program antikorupsi yang hasilnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat (quick win) untuk mendapatkan dukungan (public trust building), dan menjadi pengungkit (key leverage) terhadap program pemberantasan korupsi dalam lima tahun mendatang.
Kekeliruan pilihan ini segera bisa disaksikan bagaimana Program 100 hari KIB II justru tenggelam oleh lambannya respons pemerintah untuk menyelesaikan kasus konflik KPK dan Polri dan masalah bail out Bank Century. Bahkan kegiatan sosialisasi program 100 hari yang dimulai dengan penyelenggaraan National Summit tenggelam karena pada hari yang sama Mabes Polri melakukan penahanan terhadap Bibit dan Chandra. "Kejadian ini justru mengedepankan problem lama dari pemerintahan SBY yaitu buruknya koordinasi dan sinergi antara kelembagaan pemerintah."
Berikut 9 indikasi pemerintah yang tak mendukung agenda antikorupsi, pertama yaitu titik berat pada strategi preventif melalui reformasi birokrasi, disadari atau tidak, justru menampilkan kontroversi-kontroversi, yaitu dimulai dengan pembentukan postur kabinet yang gemuk, pemborosan anggaran dalam pengadaan mobil mewah untuk menteri, dan distorsi reformasi birokrasi hanya dengan perbaikan renumerasi.
Kedua, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, yang bersifat ad hoc untuk masa kerja dua tahun, dikritik sebagai strategi pemadam kebakaran ketimbang sebagai upaya perbaikan secara sistemik. Pertanyaan yang layak diajukan kenapa tidak berani membenahi institusi kejaksaan, kepolisian, atau memperkuat kewenangan KPK, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian, komisi kejaksaan, PPATK, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang lebih bersifat permanen.
Ketiga, Presiden juga tidak bertindak cepat menghentikan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK oleh kepolisian dan kejaksaan. Malah Presiden dinilai bagian dari pihak yang melemahkan KPK ketika justru menerbitkan Peraturan-Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 4 Tahun 2009 tentang Pimpinan Sementara KPK, pasca dua pimpinan KPK dijadikan tersangka. Perpu dan Pembentukan Tim 8 untuk mengusut kriminalisasi pimpinan KPK, sebenarnya tidak diperlukan seandainya Presiden berani mengoreksi tindakan kriminalisasi yang dilakukan polisi dan kejaksaan.
Keempat, Rencana penerbitan Rancangan Peratuan Pemerintah Tentang Tata Cara Penyadapan yang dalam banyak pasal-pasalnya sangat melemahkan KPK, menyusul terbongkarnya dugaan kriminalisasi KPK oleh dibukanya rekaman hasil sadapan KPK terhadap Anggodo di Mahkamah Konstitusi, adalah kontroversi mencolok dari klaim pemberantasan korupsi yang selalu menghiasi pidato-pidato Presiden SBY. Padahal selama ini sudah terbukti kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK sudah terbukti sangat efektif untuk menangkap koruptor.
Kelima, Pemerintah juga tidak memberikan perhatian serius dalam penyiapan insfrastruktur sistem informasi publik, sebagai bagian penting dari pemberantasan korupsi lewat pemenuhan hak masyarakat untuk mendapatkan dan mengakses informasi sejak disahkannya UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Bahkan beberapa waktu lalu pemerintah mau menerbitkan RUU Rahasia Negara yang dinilai oleh banyak pihak kontradiksi dengan UU KIP.
Keenam, Masalah klasik korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa belum memperlihatkan perbaikan dari aspek peraturan dan dalam pelaksanaan. Dalam pelaksanaan perilaku koruptif diperlihatkan oleh lingkungan istana Presiden sendiri dalam pengadaan mobil dinas mewah untuk pejabat negara seharga Rp 1.3 miliar/unit, yang mengabaikan Kepmenkeu No 64/PMK.02/2008 tentang standar Biaya Umum Anggaran 2009 dan Keppres No 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Ketujuh, Di sektor kehutanan, korupsi terkait dengan kontradiksi dan tumpang tindih regulasi dalam penataan ruang dan kawasan, namun belum ada upaya-upaya serius untuk membenahinya. Di awal tahun 2010 BPK mendesak Menhut Zulkifli Hasan menindaklanjuti temuan BPK terkait empat kasus tindak pidana korupsi di sektor kehutanan oleh tujuh perusahaan di Kalimantan Tengah yang melanggar tata ruang dan kawasan yang merugikan keuangan negara mencapai Rp111.328 miliar dan US$ 453.009.87, namun hingga kini belum ada penuntasan kasus tersebut.
Kedelapan, Kontradiksi juga diperlihatkan dalam pemberantasan pembalakan liar (illegal logging), yang seringkali bermuara pada kasus makelar dokumen kayu, tetapi direspons dengan diterapkannya Permenhut No P.51/Menhut-II/2007 tentang Pembuatan dan Pengendalian Distribusi Dokumen Surat Keterangan sahnya Kayu Bulat di seluruh provinsi. Padahal maraknya pembalakan liar karena adanya indikasi jual beli legalitas dokumen pengangkutan kayu ke terminal pasar luar kawasan hutan.
"Dengan aturan itu sama saja dengan memberi kewenangan dan legitimasi kepada para pemegang izin pemungutan kayu, yang notabene bukan regulator, untuk lebih leluasa memainkan dan mencetak dokumen angkutan kayu dan menciptakan rantai korupsi baru yang lebih kompleks."
Dan terakhir, Kerancuan kebijakan SBY juga kembali ditemui dalam pemenuhan janji 100 hari untuk menanggulangi perubahan iklim dan lingkungan. Dalam pelaksanaannya, program ini belum mengarah pada penyelesaian akar masalah dan penuntasan kerja sama lintas sektoral, terkait mitigasi kepemilikan kawasan untuk negoisiasi perubahan iklim, bagaimana penurunan emisi dan bagaimana mengupayakan kesiapan perangkat instrumen institusi keuangan dan perbankan yang sehat dan transparansi dalam mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), serta bagaimana mengusahakan kerja sama lintas sektoral Kehutanan dan departemen/institusi.
Akhirnya, TII menyimpulkan perhatian pemerintah dalam pemberantasan korupsi, baik korupsi dalam pembuatan kebijakan (state capture) dan implementasi kebijakan (bureaucratic corruption), selain cenderung melemah, juga memperlihatkan kontroversi dan disorientasi di sana sini. "Kami melihat isu pemberantasan korupsi di Indonensia lebih banyak dieksploitasi untuk tujuan-tujuan populis, ketimbang sebagai langkah-langkah perubahan yang konkrit dan terukur," ujar TII. (Cok/Johnner)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar