Senin, 08 Februari 2010

Polisi Harus Tuntaskan Pengusutan Kasus Korupsi Pasar Parung

BOGOR - Menyusul dilakukannya pengusutan terhadap dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Pasar Parung, Kabupaten Bogor, oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Konsorsium LSM Bogor Raya (KLBR) menyambut positif dan bertekad untuk terus memantau perkembangan atas jalannya penyelidikan kasus dugaan korupsi yang merugikan keuangan daerah kurang lebih sekitar Rp 90 miliar itu.
Menurut Divisi Humas KLBR, Coky Pasaribu, KLBR yang terdiri dari kumpulan lembaga swadaya masyarakat (LSM) penggiat anti korupsi di wilayah Kabupaten Bogor meminta kepada Bareskrim Mabes Polri untuk menuntaskan penanganan kasus tersebut. Sebab kasus korupsi Pasar Parung sebelumnya sempat ditangani oleh Kejaksaan Agung, namun hingga kini tak pernah diketahui sejauh mana kelanjutan dan hasilnya.
"Jika Bareskrim Polri serius menangani kasus ini, maka kita dapat meyakini akan terbongkar siapa saja oknum pejabat Pemkab Bogor dan anggota dewan periode 1999-2004 serta periode 2004-2009, yang ditengarai terlibat dalam proyek bermasalah ini. Untuk itu, KLBR mengharapkan kepada Direktorat III Tipikor Bareskrim untuk menuntaskan kasus ini, karena kami melihat kasus ini telah merugikan Pemerintah Daerah dan keuangan negara hingga hampir mencapai 100 miliar," kata Coky dalam siaran pers yang diterima JURNAL METRO, Senin (24/1).
Seperti yang telah diberitakan koran ini dalam edisi 45 tanggal 12-18 Januari 2010, Bareskrim Mabes Polri menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan bernomor : Sprin Lidik / 72/ XII/ 2009 tertanggal 11 Desember. Surat ini memuat perintah kepada Direktorat III/ Pidana Korupsi dan WCC Bareskrim Polri untuk menyelidiki kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Pasar Parung. Diperoleh informasi, sejumlah pejabat di Pemkab Bogor, mantan pejabat Pemkab dan mantan anggota DPRD periode 1999-2004 dan 2004-2009 telah dan akan dimintai keterangan seputar proses terbitnya MOU (kerjasama) antara Pemkab Bogor dengan pelaksana pembangunan, PT Lestari Indah Raya Persada (LIRP).
Selain proses penerbitan MOU kerjasama dengan PT.LIRP, Mabes Polri juga menyelidiki proses pengalihan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dari Bagian Pengelolaan Barang Daerah Pemkab kepada PT.LIRP sehingga bisa dijadikan sebagai agunan oleh direksi PT.LIRP untuk meminjam uang hingga belasan miliar rupiah dari sebuah bank nasional. Tak cuma itu, sumber di Mabes Polri juga mengungkapkan bahwa tim Tipikor Bareskrim juga membidik informasi tentang pemberian uang fee senilai miliaran rupiah dari PT.LIRP kepada sejumlah pejabat dan anggota DPRD.
Terkait dengan penyelidikan kasus Pasar Parung oleh Mabes Polri, Unit IV/DKU Direktorat III/Pidana Korupsi telah memintai keterangan Direktur CV Sigma Group Mansyur Syah Abdullah di Mabes Polri tanggal 23 Desember 2009 lalu. "Saya dipanggil oleh Bareskrim Polri untuk dimintai keterangan terkait proses pembangunan Pasar Parung mulai dari CV.Sigma Group sampai diambil alih oleh PT.LIRP dan hal-hal lain berkaitan dengan penerbitan MOU dan adendum yang dikeluarkan Pemkab dan DPRD," kata Mansyur kepada JURNAL METRO, Minggu (23/1/2010).
Seperti diketahui, kerjasama antara PT.LIRP (selaku pengembang) dengan Pemkab Bogor (pemilik aset) untuk membangun Pasar Parung dilakukan pada tahun 2002 silam. Namun hingga tahun berikutnya atau sampai tenggat waktu pengerjaan, pembangunan tak kunjung dilaksanakan. Hingga terbitlah adendum perpanjangan waktu pengerjaan proyek yang pertama di tahun 2005, tetapi pembangunan tak rampung juga. Sampai terbit kemudian adendum kedua pada akhir tahun 2006, namun pembangunan tak juga selesai. Akhirnya pada awal tahun 2009 lalu, Bupati Rachmat Yasin memutuskan kerjasama dengan PT.LIRP.
Banyak cerita yang bermunculan dalam kasus pasar parung ini, selain tentang uang fee bagi para pejabat Pemkab dan anggota DPRD periode 1999-2004 dan 2004-2009, ada pula kejanggalan dalam penyertaan uang jaminan (bank garansi) yang seharusnya dibayar PT.LIRP. Sesuai ketentuan, PT.LIRP seharusnya menyetorkan uang kurang lebih Rp 87 milyar atau sebesar 30 persen dari total nilai proyek Rp 276 miliar, tapi faktanya PT.LIRP hanya menyetor Rp.1 miliar.
"Ini kan aneh, walau cuma menyetor uang jaminan jauh dibawah ketentuan yang berlaku, Pemkab dan DPRD tetap meloloskan PT.LIRP untuk menjadi pengembang. Konon, manajemen PT.LIRP memberikan uang fee kepada sejumlah pejabat penting di masa itu. Tak cuma pada saat awal kerjasama, ketika penerbitan adendum pertama dan kedua, PT.LIRP juga menyerahkan sejumlah uang kepada pejabat dan oknum anggota DPRD. Sepatutnya ini diselidiki oleh penegak hukum," ungkap Mansyur Syah.
Sementara itu, Coky menyebutkan sejumlah poin penting yang dapat menjadi fokus penyelidikan tim Bareskrim Mabes Polri, yaitu penunjukan investor/PT.LIRP yang kredibilitas dan bonafiditasnya diragukan (tidak dilakukan lelang/tender atau uji kelayakan), uang jaminan yang tidak realistis atau tak sebanding dengan nilai proyek, kemudian terjadinya perubahan atau pengalihan hak atas tanah negara / HPL Pemerintah Daerah menjadi HBG atas nama PT.LIRP.
"Selain itu, harus diusut soal terbitnya adendum pertama dan kedua tanpa dasar hukum yang kuat dan juga tanpa membayar denda keterlambatan pengerjaan proyek seperti yang tertuang dalam laporan audit BPK. Kemudian juga selidiki masalah ketidakjelasan dalam penghapusan eks bangunan pasar lama, belum diberikannya kompensasi ganti rugi atas bangunan untuk pedagang yang dibangun CV.Sigma Group, selaku pengembang yang lama," papar Coky seraya menyebutkan besar denda keterlambatan yang harus dibayar PT.LIRP sesuai dengan perhitungan BPK mencapai lebih dari Rp 30 miliar. (Arthur/Johnn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar